Salamedukasi.com, Publikasikaryatulis - Susu merupakan bahan pangan yang penting bagi proses perkembangan dan pertumbuhan manusia, selain proteinnya yang tinggi, susu mengandung mineral yang berperan pada pertumbuhan tulang dan gigi seperti kalsium. Susu juga mengandung mineral lainnya seperti magnesium dan fosfor. Lebih dari enam miliyar orang di dunia yang mengkonsumsi produk susu yang mayoritasnya adalah penduduk di negara berkembang (FAO 2020). Di Indonesia sendiri, pada tahun 2019 konsumsi susu sudah mencapai 16,23 kg per kapita per tahun dengan kebutuhan susu nasional mencapai 4,3 juta ton (BPS 2019). Susu sendiri merupakan produk pangan yang berupa emulsi butiran lemak susu dalam air. Susu sapi segar memiliki pH 6,6. Susu sapi terdiri atas 88% air, 3,3% protein, 3,3% lemak, 4,7% karbohidrat dan 0,7% mineral (Aini dan Pranoto 2020).
Permintaan akan produk susu yang semakin meningkat membuat perusahaan-perusahaan yang memroduksi susu semakin berkembang, sehingga kompetisi market produk susu semakin meningkat. Kompetisi ini menyebabkan produsen susu terus terdorong untuk melakukan inovasi baik dari segi kualitas susu sendiri maupun proses rantai suplai yang juga menjadi semakin kompleks. Semakin kompleksnya rantai suplai dan kompetisi ini dapat mengarah kepada tindakan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan kecurangan pada produk susu.
Sebagai contoh, salah satu
parameter yang digunakan untuk mengecek kualitas dari susu adalah kadar protein,
dimana kadar protein
pada susu dapat dianalisa menggunakan metode Kjeldahl dengan
menganalisa kadar nitrogen yang dikonversi menjadi kadar protein setelah
dikalikan dengan faktor konversi 6,38. Apabila
kadar protein susu yang didapatkan lebih rendah
dari spesifikasi, biasanya
industri bisa mencampurkannya dengan susu yang
memiliki kadar protein yang lebih tinggi, sehingga bisa memenuhi spesifikasi.
Namun, pada praktiknya pernah terjadi kasus
di Cina pada tahun 2008, dimana susu formula ditambahkan senyawa melamine
cyanuric acid untuk meningkatkan
kadar nitrogen pada susu, sehingga kadar
protein susunya naik. Senyawa tersebut merupakan senyawa yang dilarang ditambahkan ke pangan, karena akan
menimbulkan penyakit salah satunya adalah gagal ginjal.
Kasus di Cina tersebut mengakibatkan 300.000 orang mengalami
sakit, 50.000
perlu perawatan intensif dan 6 orang meninggal. Kasus seperti itu disebut food fraud
(pemalsuan atau kecurangan pada
pangan)
(Yang et al. 2020).
Menurut Moore
et.al (2012), bahan pangan selain susu yang paling
umum untuk menjadi target tindakan pemalsuan pangan
antara lain, minyak zaitun, madu, jus jeruk dan kopi. Susu sendiri memberikan
kontribusi
sekitar 14% dari semua kasus pemalsuan yang pernah dilaporkan
ke European Commission website dari
tahun 1980 hingga 2010 dan menjadi
urutan kedua bahan pangan yang paling umum untuk menjadi target kecurangan pangan setelah minyak zaitun
yang berkontribusi 16% dari total laporan kasus.
Pemalsuan yang umum terjadi pada susu antara lain, penambahan bahan pengisi dengan kualitas rendah seperti
tepung kualitas rendah untuk meningkatkan nilai total padatan susu bubuk dan penambahan air pada susu cair untuk meningkatkan volume (Kandpal et al. 2012). Menurut
Azfal et.al (2011), pemalsuan pada susu juga dapat terjadi dengan cara, antara lain
penambahan pati, urea, garam, glukosa,
lemak hewani dan nabati, melamin, bubuk whey,
susu rekonstitusi untuk menyesuaikan
komposisi karbohidrat dan protein, penambahan bahan kimia seperti natrium bikarbonat, natrium
karbonat, kalsium hidroksida, soda kaustik atau formalin untuk meningkatkan umur simpan susu.
Beberapa
faktor yang menyebabkan rentannya pemalsuan pada susu, antara lain kompleksitas dari pemalsuan itu sendiri, pengetahuan untuk melakukan pemalsuan serta ketersediaan teknologinya
dan tingkat kesulitan deteksi pemalsuan. Salah
satu upaya untuk mencegah terjadinya food
fraud tertutama pada bahan
baku yang disuplai oleh pemasok ke industri susu
adalah dengan cara menyusun dokumen rencana Vulnerability Assessment Critical Control
Point (VACCP) atau VACCP plan, yaitu rencana mitigasi food fraud
berbasis manajemen risiko. Dokumen ini berisi daftar informasi umum seperti
bahan baku beserta nama pemasok, alamat manufaktur dan asal negara yang
dikaitkan dengan potensi food fraud (Gaiardoni 2017). Contohnya, apabila bahan baku yang disuplai oleh pemasok
adalah susu, maka salah satu mitigasi yang bisa dilakukan adalah pengecekan
kandungan adulteran dalam susu secara monitoring 3 atau 6 bulan sekali
misalnya. Menurut penelitian Santos (2013), kandungan adulterant seperti urea
dan hidrogen peroksida dapat dideteksi menggunakan mid-infrared microspectroscopy (MIR—microspectroscopy).
Ulasan Populer
Isu Food Fraud pada Industri Susu Oleh Bisma Pramundita (Email : bismapramundita@gmail.com),
Mahasiswa Magister Teknologi Pangan IPB University.
0 Response to "Isu Food Fraud pada Industri Susu Oleh Bisma Pramundita, Mahasiswa Magister Teknologi Pangan IPB University"
Post a Comment