Sebagaimana
apa yang telah disampaikan oleh bapak Rachmat Rizqy Kurniawan Pada mata kuliah
Pancasila, andaikan para ilmuan dalam pengembangan ilmu konsisten akan janji
awalnya ditemukan ilmu, yaitu mencerdaskan manusia, seperti yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke 4 “Kemudian dari pada itu, untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”,
maka pengembangan ilmu yang didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuannya sendiri
tak perlu menimbulkan ketegangan -ketegangan antara ilmu (teknologi) dan
masyarakat.
Sekarang
teknologi telah berkembang diberbagai bidang kehidupan manusia, bahkan tidak
sedikit anak kecil yang sudah memegang gadget, teknologi juga termasuk megubah
pola pikir dan budaya manusia, bahkan nyaris menggoyahkan eksistensi kodrati
manusia sendiri. Mereka tidak sadar dengan kehidupan yang termanipulasi
teknologi menjadi manusia individualis. Masih terdapat banyak persoalan akibat
teknologi yang dapat disaksikan, meskipun kita dapat melihat secara nyata
berbagai manfaat teknologi yang tidak dapat dipungkiri.
Problematika
keilmuan dapat segera diantisipasi dengan merumuskan kerangka dasar nilai bagai
pengembangan ilmu. Kerangka dasar nilai ilmu ini harus menggambarkan suatu
sistem filosofi kehidupan yang dijadikan prinsip kehidupan masyarakat, yang
sudah mengakar dan membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu
nilai-nilai Pancasila.
Ilmu
pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut dekade waktu dan
menciptakan zamannya, dimulai dari zaman Yunani kuno, Abad Tengah, Abad Modern,
Samapi Abad Kontemporer. Masa Yunani kuno saat ilmu pengetahuan lahir,
kedudukan ilmu pengetahuan identik dengan filsafat memiliki cara mitologis.
Alam dengan berbagai aturannya diterangkan secara theogoni, bahwa ada peranan
para dewa yang merupakan unsur penentu segala sesuatu yang ada. Bagaimanapun,
corak mitologis ini telah mendorong upaya manusia terus menerus menerobos lebih
jauh dunia pergejalaan, untuk mengetahui adanya sesuatu yang Eka, tetap, dan
abadi, dibalik yang bhineka, berubah dan sementara.
Melalui
kajian historis tersebut yang pada hakikatnya pemahaman tentang sejarah
kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dikonstatasikan bahwa ilmu
pengetahuan itu mengandung dua aspek, yaitu aspek fenomenal dan aspek
struktural. Aspek fenomenal menunjukan bahwa ilmu pengetahuan mewujud/
memanifestasikan dalam bentuk masyarakat, proses, dan produk. Sedangkan aspek
struktural menunjukan bahwa ilmu pengetahuan didalamnya terdapat unsur-unsur,
diantaranya sasaran yang dijadikan objek untuk diketahui, 9bjek sasaran ini
teru-menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa mengenal
titik henti, Ada alasan dan motivasi mengapa gegenstand itu terus-menerus
dipertanyakan, Jawaban-jawaban yang diperoleh kemudian disusun dalam suatu
kesalahan sistem.
Negatif
dalam arti ilmu pengetahuan telah mendorong berkembangnya arogansi ilmiah
dengan menjauhi nilai-nilai agama, etika, yang akibatnya dapat menghancurkan
kehidupan manusia sendiri. Akhirnya tidak dapat kita pungkiri, ilmu
pengetahuan dan teknologi telah mempunyai kehidupan substantif dalam kehidupan
manusia saat ini, yang pada gilirannya ilmu pengetahuan dan teknologi mengubah
kebudayaan manusia secara intensif.
Kekuatan
bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar
filosofi keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat
integratif serta prerequistite/ saling mempersyaratkan. Pengembangan ilmu
selalu dihadapkan pada persoalan ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Pilar-pilar yang dimaksud adalah pilar ontologi (ontology) yang mencakup Aspek
kuantitas dan Aspek kualitas, Pilar epistemologi (epistemology), dan pilar
aksiologi (axiology).
Adapun
prinsip-prinsip berpikir ilmiah diantaranya, kita harus objektif, rasional,
logis, metodologis, dan sistematis. Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi
manusia terbesar ini adalah keserbamajemukan ilmu itu sendiri. Ilmu pengetahuan
tidak lagi satu, kita tidak bisa mengatakan inilah satu-satunya ilmu
pengetahuan yang dapat pengatasi problem manusia dewasa ini. Berbeda dengan
ilmu pengetahuan masa lalu, lebih menunjukan keekaannya dari pada kebhinekaannya.
Seperti pada awal perkembangan ilmu pengetahuan, berada dalam kesatuan
filsafat.
Kalau
perkembangan ilmu pengetahuan sungguh-sungguh menepati janji awalnya tahun 200
tahun yang lalu, pasti orang tidak akan begitu mempermasalahkan akibat
perkembangan ilmu pengetahuan. Bila penerapan ilmu benar-benar merupakan saran
pembebasan manusia dari keterbelakangan yang dialami sekitar 1800-1900-an
dengan menyediakan keterampilan “know how”
yang memungkinkan manusia dapat mencari nafkah sendiri tanpa bergantung
pada pemilik modal, maka pendapat bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan
atas dasar patokan-patokan ilmu pengetahuan itu sendiri (secara murni) tidak
akan mendapat kritikan tajam seperti pada abad ini.
Akibat
teknologi pada perilaku manusia muncul dalam fenomena penerapan kontrol tingkah
laku (behavior control). Behavior control merupakan kemampuan untuk mengatur
orang melaksanakan tindakan seperti yang dikehendaki oleh si pengatur (the
ability to get some one to do one's bidding). Pengembangan teknologi yang
mengatur perilaku manusia ini mengakibatkan munculnya beberapa masalah-masalah
etis.
Peran
nilai-nilai dalam setiap sila dalam Pancasila adalah sebagai berikut:
1. Sila Ketuhana Yanga Maha Esa: melengkapi ilmu
pengetahuan, menciptakan perimbangan antara yang rasional dan irasional, antara
rasa dan akal. Sila ini menempatkan manusia dalam alam sebagai bagiannya dan
bukun pusatnya.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab:
memberi arahan dan mengendalikan ilmu pengetahuan. Ilmu dikembangkan pada fungsinya
semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok, lapisan tertentu.
3. Sila Persatuan Indonesia: mengkomplementasikan
universalisme dalam sila-sila yang lai, sehingga suprasistem tidak mengabaikan
sistem dan subsistem. Solidaritas dalam subsistem sangat penting untuk
kelangsungan keseluruhan individualitas, tetapi tidak mengganggu integrasi.
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan: mengimbangi otodinamika ilmu
pengetahuan dan teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi
penerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan harus demokratis dapat
dimusyawarahkan secara perwakilan, sejak dari kebijakan, penelitian sampai
penerapan massal.
5. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia:
menekankan ketiga keadilan Aristoteles: keadilan distributif, keadilan
kontributif, dan keadilan komutatif. Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan
antara kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan semua.
Individualitas merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya kreativitas dan
inovasi.
Dikutip
dari buku pendidikan pancasila, penerbit Ghalia Indonesia, karya Dr. H.
Syahrial Syarbaini, M.A.
Pengirim
: Wardah Rahadatul 'Aisy Tuasamu (wardahrahadatul@gmail.com)
- Mahasiswi STIU Darul Qur'an Mulia
0 Response to "Peran Nilai-Nilai Dalam Setiap Sila Dalam Pancasila dari Wardah Rahadatul 'Aisy Tuasamu Mahasiswi STIU Darul Qur'an Mulia"
Post a Comment