Sahabat
Edukasi yang berbahagia... Setiap anak lahir dalam kondisi fitrah. Dalam teori
Ilmu Jiwa Agama, fitrah dikategorikan ke dalam fitrah ilahiyah (Qs Ar-Rum: 30)
dan fitrah kemanusiaan (HR. Bukhari). Fitrah kemanusiaan inilah yang lebih
tepat disebut “potensi” atau “inborn”
meminjam teori pendidikan Progresivisme. Proses perkembangan potensi anak lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
eksternal. Pembentukan karakter dan kepribadian anak ditentukan oleh pola
interaksi dengan keluarga dan lingkungan di sekitarnya. Sedangkan faktor” bakat
bawaan” (hereditas) hanya bagian kecil dari penentu proses pembentukan karakter
dan kepribadiannya.
Kini,
lingkungan pengasuhan anak telah berubah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah mengubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat modern. Saat ini,
nyaris di semua lini kehidupan telah hadir teknologi yang memudahkan manusia
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pola pikir dan gaya hidup masyarakat di era teknologi
digital telah mempengaruhi pola pengasuhan terhadap anak.
Remaja
masa sekarang pasti berbeda dengan remaja masa lalu. Mereka tidak lagi kenal
layar tancap. Mereka lebih kenal internet dan keseluruhan media sosial. Mereka
dapat mencari, menikmati, melakukan apa pun via dunia maya tersebut. Kalau
sudah demikian, satu sisi, kecerdasan dan kelincahan remaja seperti ini sangat
mengagumkan.
Tapi,
sisi lain, kerawanan moral juga menyedot perhatian, karena secara tidak sadar
moralitas mereka juga tidak dibentuk oleh lingkungan sosialnya, melainkan oleh
situs-situs yang mereka kunjungi setiap menitnya. Di sinilah tantangan berat
orang tua untuk selalu mengetahui dan mengontrol remaja masa kini, yang
digolongkan dalam Generasi Y dan Z.
Generasi Digital = Generasi
Y dan Z
Dalam
kontek kekinian ada yang disebut dengan
Generasi Y (Gen-Y). Secara ringkas, Gen-Y adalah generasi yang lahir
antara tahun 1981-1994. Generasi ini juga dikenal dengan sebutan generasi
millenial atau milenium. Gen-Y banyak menggunakan teknologi komunikasi instan
seperti email, SMS, instan messaging, dan media sosial seperti facebook dan
twitter. Mereka juga suka main game online. Generasi ini sekarang akan atau
sudah memasuki dunia kerja. Di Indonesia, pada tahun 2010, terdapat lebih dari
80 juta Gen-Y dan akan meningkat menjadi 90 juta pada tahun 2030. Bahkan
menurut pemerintah 60% penduduk Indonesia saat ini adalah ana-anak muda yang
ketika lahir sudah bersentuhan dengan internet dan mereka adalah digital
native, penduduk asli dunia digital.
ASEP ABDURRAHMAN
Dosen Univ. Muhammadiyah Tangerang dan
Pengajar SMP Daarul Qur’an Internasional Tangerang
|
William
Strauss dan Neil Howe, sejarawan yang menekuni tentang generasi di Amerika,
menulis beberapa buku yang berkaitan dengan tipe-tipe generasi. Dua di antara
karya mereka adalah Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069
(1991), Millennials Rising: The Next Great Generation (2000). Dua buku ini
mencoba menjelaskan tentang tipologi generasi di Amerika. Di antara yang dia
teliti adalah Gen-Y dan Gen-Z.
Meskipun
cakupan riset mereka adalah Amerika, tapi hasil riset mereka menjadi referensi
psikologi perkembangan di dunia berkembang, termasuk Indonesia. Tipologi yang
mereka buat pun relatif memiliki kesesuaian dengan kondisi generasi di Indonesia.
Tentu saja dengan beberapa pengecualian, seperti lingkup pergaulan dan di mana
generasi ini tinggal.
Tantangan Generasi Y
dan Z
Melihat
hal demikian, kita setidaknya tahu seperti apa tantangan yang dihadapi dua
generasi ini, Baik untuk dirinya sendiri maupun keterlibatan emosinya pada
kehidupan sosial. Kondisi generasi ini tidak dapat ditampik apalagi dihindari.
Menurut Jamaludin Ahmad (2010), generasi seperti ini sedikit banyak sedang
mengalami “Problem psikologis dan kedekatan emosi.” Mereka cenderung ingin
mandiri, ingin merdeka, ingin bebas dari ikatan-ikatan, Lebih dari itu, karena
“kedekatan” pada gadget yang demikian kuat, ikatan emosional dengan keluarga
(termasuk orangtua) menjadi renggang.
Ditambah
lagi, pertama: akses internet tanpa filter rentan terhadap konten-konten yang
tidak sesuai dengan usia anak (pornografi, kekerasan, pergaulan bebas, dan lain
sebagainya). Kedua: prefrontal cortex dalam otak anak belum matang sehingga
informasi yang diterima akan langsung masuk ke pusat perasaan membuat anak
melakukan sesuatu tanpa mengerti akibatya. Ketiga: anak cendrung menutup diri
dari dunia luar karena lebih asyik berkomunikasi melalui media social. Keempat:
anak menjadi anti social, tidak suka bergaul
dengan teman, keluarga dan lingkungan tempat tinggal.
Oleh
karena ketergantungan pada dunia maya, pengetahuan dan standar moralitas dan
agama mereka seringkali didasarkan pada pencarian sendiri tanpa pendamping.
Bahkan tidak tertarik lagi pada pencarian pengetahuan agama dan moral. Mereka
lebih asyik dengan dunianya sendiri. Kelincahan dan kecerdasannya akhirnya
kurang diimbangi dengan pengetahuan agama. Pada titik inilah, celah rawan Gen-Y
dan Gen-Z. Tidak ingin mengatakan semuanya, tapi sebagian besar mereka menjadi
kurang perhatian terhadap agama dan moral. Mereka goyah secara spiritual dan
moral, tapi kreatif di bidang-bidang lainnya.
Menghadapi Generasi Y
dan Z
Menghadapai
hal demikian memang tidak berarti meninggalkan mereka. Bagaimana pun, mereka
ini adalah generasi emas. Generasi yang dengan beragam kreativitasnya akan
memberi warna pada masa depannya. Untuk memberikan arahan kepada mereka, maka
orangtua tidak boleh serta merta melarang generasi ini berinternet-ria. “Yang
perlu dilakukan adalah membatasi dengan melakukan perjanjian waktu-waktu untuk
berinternet,” tegasnya. Orangtua mesti mencoba memahami makna dan nilai
internet bagi anak. Perlu memahami bahwa ketika anak duduk di depan computer,
mereka bukannya tidak melakukan apa-apa atau membuang waktu. Tapi mereka sedang
belajar, bermain, mengekplorasi atau memenuhi rasa keingintahuan, melakukan
kreativitas atau percobaan, berkomunikasi dan bersosialiasi. Yang perlu
dilakukan orangtua adalah mengamati lebih dekat dan membatasi penggunaan
internet.
Oleh
karena itu, model komunikasi orangtua dengan anak mesti diubah. Frekuensi
komunikasi perlu ditingkatkan, orangtua mesti selalu mendekatkan diri dengan
bersedia mendengarkan anak. Ini sangat penting karena di samping boleh jadi
banyak sekali pikiran anak yang tidak tersalur ke orangtua, tapi juga seringnya
komunikasi akan menambah kedekatan emosi antara anak dan orangtua. Selain itu,
generasi ini harus diberi tanggungjawab.” Remaja perlu sering dilatih
bertanggungjawab. Mereka diberi kepercayaan untuk melakukan sesuatu hal. Dengan
cara ini akan berkembang sensor motorik dan sosialnya.
Dan
yang tak kalah penting adalah remaja perlu dilibatkan dalam berbagai aktivitas.
Mereka harus dijaga dan dirawat, memang menyimpan tantangan dan dilema. Akan
tetapi, dengan keterlibatan orangtua yang lebih dalam akan memberi pertimbangan
kepada generasi ini untuk tidak lupa pada agama dan moral. Dan melibatkan
mereka dalam banyak kegiatan adalah salah satu cara agar mereka lebih selektif
dalam penggunaan internet. Apalagi dengan memberikan tanggungjawab dan kepercayaan,
mereka akan cenderung memanfaatkan internet hanya untuk hal-hal yang positif
dan bermanfaat.
Oleh
: ASEP ABDURRAHMAN (Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang dan Pengajar SMP Daarul Qur’an Internasional Tangerang)
Email
: asepabdurrahman331@yahoo.co.id/rizahamizan@gmail.com
0 Response to "Menyelami Dinamika dan Tantangan Generasi Digital (Generasi Y dan Z)"
Post a Comment