Sahabat
Edukasi yang sedang berbahagia...
Ketika
kalian mempelajari mengenai nilai, norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tentunya kita masih ingat bahwa hak
asasi manusia (HAM) merupakan nilai dan norma yang sangat penting bagi
kehidupan manusia di dunia ini.
Dengan adanya perlindungan dan penegakan HAM, maka kehidupan manusia yang beradab dan sejahtera dapat diwujudkan.
Dengan adanya perlindungan dan penegakan HAM, maka kehidupan manusia yang beradab dan sejahtera dapat diwujudkan.
Dengan
mempelajari materi “Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia”, kalian
diharapkan memiliki kompetensi: menguraiakan hakekat, hukum dan kelembagaan
HAM, mendeskripsikan kasus pelanggaran dan upaya penegakan HAM , menghargai
upaya perlindungan HAM, menghargai upaya penegakkan HAM.
A. HAKEKAT HAK ASASI
MANUSIA
Manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, dan mempunyai
derajat yang luhur sebagai manusia, mempunyai budi dan karsa yang merdeka
sendiri. Semua manusia sebagai manusia memiliki martabat dan derajat yang sama,
dan memiliki hak-hak yang sama pula. Derajat manusia yang luhur berasal dari
Tuhan yang menciptakannya. Dengan demikian semua manusia bebas mengembangkan dirinya
sesuai dengan budinya yang sehat.
Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan, semua manusia memiliki hak-hak yang sama
sebagaimanusia. Hak-hak yang sama sebagai manusia inilah yang sering disebut
hak asasi manusia. Hak asasi manusiaberarti hak-hak yang melekat pada manusia
berdasarkan kodratnya, maksudnya hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia.
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang dimiliki manusia sebagai
manusia yang berasal dari Tuhan, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Dengan mendasarkan pada pengertian HAM di atas, maka HAM memiliki landasan
utama, yaitu:
1. Landasan langsung yang pertama, yaitu kodrat manusia;
2. Landasan kedua yang lebih dalam, yaitu Tuhan yang menciptakan manusia.
Jadi HAM pada hakekatnya merupakan hak-hak fundamental yang melekat pada
kodrat manusia sendiri, yaitu hak-hak yang paling dasar dari aspek-aspek kodrat
manusia sebagai manusia. Setiap manusia adalah ciptaan yang luhur dari Tuhan
Yang Maha Esa. Setiap manusia harus dapat mengembangkan dirinya sedemikian rupa
sehingga ia harus berkembang secara leluasa.
Pengembangan diri sebagai manusia dipertanggungjawabkan kepada Tuhan sebagai
asal dan tujuan hidup manusia. Semua hak yang berakar dalam kodratnya sebagai
manusia adalah hak-hak yang lahir bersama dengan keberadaan manusia itu sendiri.
Dengan demikian hak-hak ini adalah universal atau berlaku di manapun di dunia
ini. Di mana ada manusia di situ ada HAM dan harus dijunjung tinggi oleh
siapapun tanpa kecuali.
HAM tidak tergantung dari pengakuan orang lain, tidak tergantung dari
pengakuan mesyarakat atau negara. Manusia memperoleh hak-hak asasi itu langsung
dari Tuhan sendiri karena kodratnya (secundum
suam naturam). Penindasan terhadap HAM bertentangan dengan keadilan dan
kemanusiaan, sebab prinsip dasar keadilan dan kemanusiaan adalah bahwa semua
manusia memiliki martabat yang sama dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
sama. Oleh karenanya, setiap manusia dan setiap negara di dunia wajib mengakui
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) tanpa kecuali. Penindasan
terhadap HAM berarti pelanggaran terhadap HAM.
Pengakuan oleh orang-orang lain maupun oleh negara ataupun agama tidaklah
membuat adanya HAM itu. Demikian pula orang-orang lain, negara dan agama
tidaklah dapat menghilangkan atau menghapuskan adanya HAM. Setiap manusia,
setiap negara di manapun, kapanpun wajib mengakui dan menjunjung tinggi HAM
sebagai hak-hak fundamental atau hak-hak dasar. Penindasan terhadap HAM adalah
bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan.
Untuk mempertegas hakekat dan pengertian HAM di atas dikuatkanlah dengan
landasan hukum HAM sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi
manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
B. HUKUM DAN KELEMBAGAAN
HAK ASASI MANUSIA
1. Beberapa Ketentuan
Hukum atau Instrumen HAM
Locke, pemikir politik dari Inggris, menyatakan bahwa semua orang
diciptakan sama dan memiliki hak–hak alamiah yang tidak dapat dilepaskan. Hak
alamiah itu meliputi hak atas hidup, hak kemerdekaan, hak milik dan hak
kebahagiaan. Pemikiran John Locke ini dikenal sebagai konsep HAM yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan HAM di berbagai belahan dunia.
Pengakuan hak asasi manusia (HAM) secara konstitusional ditetapkan pertama
kali di Amerika Serikat pada tahun 1776 dengan “Unanimous Declaration of
Independence”, dan hal ini dijadikan contoh bagi majelis nasional Perancis
ketika menerima deklarasi hak-hak manusia dan warga negara (Declaration des
Droits de l’homme et de Citoyen) 26 Agustus 1789.
Badan dunia yaitu PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) juga memperkenalkan
pengertian hak asasi manusia yang bisa kita dapatkan dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right/ UDHR). Deklarasi
Universal merupakan pernyataan umum mengenai martabat yang melekat dan
kebebasan serta persamaan manusia yang harus ada pada pengertian hak asasi
manusia.
Dalam UDHR pengertian HAM dapat ditemukan dalam Mukaddimah yang pada
prinsipnya dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat
yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak– hak yang sama dan tak teralihkan
dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar dari kebebasan, keadilan dan
perdamaian dunia.
Sejak munculnya Deklarasi Universal HAM itulah secara internasional HAM
telah diatur dalam ketentuan hukum sebagai instrumen internasional. Ketentuan
hukum HAM atau disebut juga Instrumen HAM merupakan alat yang berupa peraturan
perundang–undangan yang digunakan dalam menjamin perlindungan dan penegakan
HAM. Instrumen HAM terdiri atas instrumen nasional HAM dan instrumen
internasional HAM. Instrumen nasional HAM berlaku terbatas pada suatu negara
sedangkan instrumen internasional HAM menjadi acuan negara–negara di dunia dan
mengikat secara hukum bagi negara yang telah mengesahkannya (meratifikasi).
Di negara kita dalam era reformasi sekarang ini, upaya untuk menjabarkan
ketentuan hak asasi manusia telah dilakukan melalui amandemen UUD 1945 dan
diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM serta meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang HAM.
a. Undang Undang RI
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dalam amandemen UUD 1945 ke dua, ada Bab yang secara eksplisit menggunakan
istilah hak asasi manusia yaitu Bab XA yang bersikan pasal 28A s/d 28J. Dalam
UURI Nomor 39 Tahun 1999 jaminan HAM lebih terinci lagi. Hal itu terlihat dari
jumlah bab dan pasal–pasal yang dikandungnya relatif banyak yaitu terdiri atas
XI bab dan 106 pasal.
Apabila dicermati jaminan HAM dalam UUD 1945 dan penjabarannya dalam UURI
Nomor 39 Tahun 1999, secara garis besar meliputi :
1)
Hak untuk hidup
(misalnya hak: mempertahankan hidup, memperoleh kesejahteraan lahir batin, memperoleh
lingkungan hidup yang baik dan sehat);
2)
Hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan.
3)
Hak mengembangkan diri
(misalnya hak : pemenuhan kebutuhan dasar,meningkatkan kualitas hidup, memperoleh
manfaat dari iptek, memperoleh informasi, melakukan pekerjaan sosial);
4)
Hak memperoleh keadilan
(misalnya hak : kepastian hukum, persamaan di depan hukum);
5)
Hak atas kebebasan
pribadi (misalnya hak : memeluk agama, keyakinan politik, memilih status kewarganegaraan,
berpendapat dan menyebarluaskannya, mendirikan parpol, LSM dan organisasi lain,
bebas bergerak dan bertempat tinggal);
6)
Hak atas rasa aman
(misalnya hak : memperoleh suaka politik, perlindungan terhadap ancaman
ketakutan, melakukan hubungan komunikasi, perlindungan terhadap penyiksaan,
penghilangan dengan paksa dan penghilangan nyawa);
7)
Hak atas kesejahteraan
(misalnya hak : milik pribadi dan kolektif, memperoleh pekerjaan yang layak,
mendirikan serikat kerja, bertempat tinggal yang layak, kehidupan yang layak,
dan jaminan sosial);
8)
Hak turut serta dalam
pemerintahan (misalnya hak: memilih dan dipilih dalam pemilu, partisipasi
langsung dan tidak langsung, diangkat dalam jabatan pemerintah, mengajukan
usulan kepada pemerintah);
9)
Hak wanita (hak yang
sama/tidak ada diskriminasi antara wanita dan pria dalam bidang politik,
pekerjaan, status kewarganegaraan, keluarga perkawinan);
10) Hak anak (misalnya hak : perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat
dan negara, beribadah menurut agamanya, berekspresi, perlakuan khusus bagi anak
cacat, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan, tindakan asusila,
perdagangan anak, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya).
b. Undang Undang RI
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (disingkat sebagai Konvensi Wanita).
Dengan ratifikasi Konvensi Wanita tersebut, maka segala bentuk diskriminasi
yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (laki–laki, perempuan) harus
dihapus. Misalnya, perlakuan pemberian upah buruh wanita dibawah upah buruh
pria harus dihapus, begitu pula dunia politik bukanlah milik pria maka
perempuan harus diberi kesempatan yang sama menduduki posisi dalam partai
politik maupun pemerintahan. Dengan demikian terjadi perbedaan penghargaan
terhadap pria dan wanita, bukan karena jenis kelaminnya tetapi karena perbedaan
pada prestasi.
Kita harus menyadari bahwa pembangunan suatu negara, kesejahteraan dunia,
dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum wanita atas dasar
persamaan dengan kaum pria. Kita tidak dapat menyangkal besarnya sumbangan
wanita terhadap kesejahteraan keluarga dan membesarkan anak . Hal ini
menunjukan keharusan adanya pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita dan
masyarakat sebagai keseluruhan, bukan dijadikan dasar diskriminasi.
c. Undang-Undang RI
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Latar belakang dikeluarkannya undang-undang ini, sebagaimana dikemukakan
dalam Penjelasan Umum undang-undang ini antara lain:
1)
Bahwa anak adalah amanah
sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena
dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah
masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta
berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil
dan kebebasan.
2)
Meskipun Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak
anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan
suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan
undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam
segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya
dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
3)
Orang tua, keluarga, dan
masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut
sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka
penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab
menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin
pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
4)
Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara
terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut
harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan
anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan inidimaksudkan
untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus
bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak
mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa dan negara.
5)
Upaya perlindungan anak
perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan
sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi
perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini
meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas
sebagai berikut :
a.
nondiskriminasi;
b.
kepentingan yang terbaik
bagi anak;
c.
hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d.
penghargaan terhadap
pendapat anak.
6)
Dalam melakukan
pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik
melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media
massa, atau lembaga pendidikan.
d. Undang Undang RI
Nomor 8 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment).
Konvensi ini mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan
persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang bertindak dalam
jabatannya. Ini berarti negara RI yang telah meratifikasi wajib mengambil
langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan langkah-langkah efektif
lain guna mencegah tindakan penyiksaan (tindak pidana) di dalam wilayah
yuridiksinya. Misalnya langkah yang dilakukan dengan memperbaiki cara
interograsi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik
lain yang bertanggungjawab terhadap orang – orang yang dirampas kemerdekaannya.
e. Undang Undang RI
Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182 Mengenai
Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk–Bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak.
Menurut Konvensi ILO (International Labour Organization/Organisasi Buruh
Internasional) tersebut, istilah “bentuk-bentuk
terburuk kerja anak” mengandung pengertian sebagai berikut:
1)
Segala bentuk perbudakan
atau praktik-praktik sejenis perbudakan, misalnya:
a)
penjualan anak;
b)
perdagangan anak-anak;
c)
kerja ijon;
d)
perhambaan (perbudakan);
e)
kerja paksa atau wajib
kerja;
f)
pengerahan anak-anak
secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
2)
Pemanfaatan, penyediaan
atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk
pertunjukan-pertunjukan porno;
3)
Pemanfaatan, penyediaan
atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan
perdagangan obat-obatan.
4) Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan
dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
Dengan UURI Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182,
maka negara Republik Indonesia wajib mengambil langkah-langkah legislatif,
administratif, hukum, dan langkah-langkah efektif lain guna mencegah tindakan
praktek memperkerjakan anak dalam bentuk-bentuk terburuk kerja anak dalam
industri maupun masyarakat.
f. Undang Undang RI
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights)
Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi,
sosial dan budaya dari UDHR atau DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)
dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan terdiri dari
pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 31 pasal. Intinya kovenan ini mengakui
hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yang meliputi :
1)
hak atas pekerjaan,
2)
hak untuk menikmati
kondisi kerja yang adil dan menyenangkan,
3)
hak untuk membentuk dan
ikut serikat buruh,
4)
hak atas jaminan sosial,
termasuk asuransi sosial ,
5)
hak atas perlindungan
dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda,
6)
hak atas standar
kehidupan yang memadai,
7)
hak untuk menikmati
standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai,
8)
hak atas pendidikan ,
dan
9) hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya.
g. Undang Undang RI
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak – hak
Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)
Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi,
sosial dan budaya dari UDHR atau DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)
dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan terdiri dari
pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 31 pasal. Intinya kovenan ini mengakui
hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yang meliputi :
1)
hak atas pekerjaan,
2)
hak untuk menikmati kondisi
kerja yang adil dan menyenangkan,
3)
hak untuk membentuk dan
ikut serikat buruh,
4)
hak atas jaminan sosial,
termasuk asuransi sosial,
5)
hak atas perlindungan
dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda,
6)
hak atas standar
kehidupan yang memadai,
7)
hak untuk menikmati
standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai,
8)
hak atas pendidikan, dan
9)
hak untuk ikut serta
dalam kehidupan budaya.
h. Undang Undang RI
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak – hak
Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang
tercantum dalam UDHR sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara
hukum. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6
bab dan 53 Pasal. Hak–hak sipil (kebebasan–kebebasan fundamental) dan hak–hak
politik meliputi hak–hak berikut :
Hak–hak sipil (kebebasan–kebebasan fundamental) meliputi hak–hak berikut :
1)
hak hidup;
2)
hak bebas dari siksaan,
perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat;
3)
hak bebas dari
perbudakan;
4)
hak bebas dari
penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang;
5)
hak memilih tempat
tinggalnya, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri;
6)
hak persamaan di depan
peradilan dan badan peradilan;
7)
hak atas praduga tak
bersalah.
8)
hak kebebasan berpikir;
9)
hak berkeyakinan dan
beragama;
10)
hak untuk mempunyai
pendapat tanpa campur tangan pihak lain;
11)
hak atas kebebasan untuk
menyatakan pendapat;
12)
hak atas
perkawinan/membentuk keluarga;
13)
hak anak atas
perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur,
keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan
mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan;
14)
hak persamaan kedudukan
semua orang di depan hukum dan
15) hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Hak–hak politik meliputi hak–hak berikut :
1)
hak untuk berkumpul
yangbersifat damai;
2)
hak kebebasan
berserikat;
3)
hak ikut serta dalam
urusan publik;
4)
hak memilih dan dipilih;
5)
hak untuk mempunyai
akses pada jabatan publik di negaranya ;
i. Undang-undang RI
Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang ini mengatur
pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat.
2. Latar Belakang
Lahirnya Instrumen Nasional HAM
Bagaimana latar belakang lahirnya instrumen nasional HAM atau perundang
undangan nasional HAM? Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 (sebelum
perubahan/amandemen) menurut Kuntjara Purbopranoto belum disusun secara
sistematis dan hanya empat pasal yang memuat ketentuan – ketentuan tentang hak
asasi, yakni pasal 27, 28, 29 dan 31. Meskipun demikian bukan berarti HAM
kurang mendapat perhatian, karena susunan pertama UUD 1945 adalah merupakan
inti-inti dasar kenegaraan.
Dari keempat pasal tersebut, terdapat 5 (lima) pokok mengenai hak – hak
asasi manusia yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945, yaitu :
a.
Kesamaan kedudukan dan
kewajiban warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan (Pasal 27 ayat
1);
b.
Hak setiap warga negara
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2);
c.
Kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang – undang (Pasal 28);
d.
Kebebasan asasi untuk
memeluk agama bagi penduduk di jamin oleh Negara (Pasal 29 ayat 2);
e. Hak atas pengajaran (Pasal 31 ayat 1).
Masuknya pasal – pasal HAM dalam UUD 1945 di atas, tidak lepas dari
perdebatan yang mendahuluinya antara kelompok yang keberatan (terutama Soekarno
dan Soepomo) dan kelompok yang menghendaki dimasukan (terutama Moh. Hatta).
Alasan kedua pendapat yang berbeda tersebut sebagaimana dituturkan Mr. Muhammad
Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid I, antara lain sebagai
berikut :
Bung Karno menjelaskan bahwa telah ditentukan sidang pertama bahwa ”kita
menyetujui keadilan sosial. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat
terhadap dasar individualisme. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa
grondwet (undang–undang dasar) menuliskan bahwa manusia bukan saja mempunyai
hak kemerdekaan memberi suara, mengadakan persidangan dan berapat, jikalau misalnya
tidak ada sociale rechvaardigheid (keadilan sosial) yang demikian itu ?
Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat
mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita
betul–betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham
tolong–menolong, faham gotong–royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tipe-tipe
pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya. Kita
rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat, dan bukan kedaulatan individu. Inilah
menurut paham Panitia Perancang UUD satu-satunya jaminan, bahwa bangsa
Indonesia seluruhnya akan selamat di kemudian hari.” Demikianlah pendapat Bung
Karno, yang kemudian didukung oleh Soepomo.
Sedangkan pendapat Bung Hatta, antara lain
menyatakan : “…Mendirikan negara yang baru, hendaknya kita memperhatikan
syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan sampai menjadi negara
kekuasaan.
Kita menghendaki Negara Pengurus, kita membangun masyarakat baru yang
berdasarkan gotong-royong, usaha
bersama, tujuan kita adalah membaharui masyarakat. Tetapi disebelah itu
janganlah kita memberikan kekuasaan
yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu
suatu Negara Kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal yang
mengenai warga negara disebutkan juga sebelah hak yang sudah diberikan kepada
misalnya tiap–tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap–tiap warga negara
jangan takut mengeluarkan suara”. Demikianlah pendapat Bung Hatta, yang
pendapatnya kemudian didukung oleh Muhammad Yamin.
Dengan demikian memahami pokok-pokok hak asasi manusia dalam UUD 1945
rujukannya (referensinya) yang akurat adalah pendapat Bung Hatta, yang
esensinya mencegah berkembangnya Negara Kekuasaan. Bung Hatta melihat dalam
kenyataan pelanggaran hak asasi manusia terutama dilakukan oleh penguasa.
Sedangkan pemikiran Bung Karno yang memandang hak asasi manusia bersifat
individualisme dan dipertentangkan dengan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial
sampai saat ini masih dianut terutama oleh penguasa.
Apa yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta terbukti sudah. Hal itu dapat
dicermati bahwa pada abad ke-20 masih tampak perjuangan hak asasi manusia
terutama dilakukan masyarakat terhadap pemerintahan sendiri yang otoriter.
Sampai memasuki abad ke–21 persoalan pada abad ke-20 masih belum berakhir.
Hanya saja persoalan HAM, demokrasi dan lingkungan telah menjadi isue global,
sehingga negara-negara yang otoriter semakin terdesak untuk merealisasikan hak
asasi manusia tidak hanya dari tuntutan masyarakatnya tetapi juga dari dunia
internasional.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia sebagai warga dunia dan anggota PBB
memiliki tanggungjawab moral untuk melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia. Begitu pula atas desakan masyarakat bagi pengembangan kehidupan yang
demokratis dan pelaksanaan HAM serta adanya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, maka dipandang perlu membentuk Undang – Undang HAM.
UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM lahir dalam suasana di atas.
3. Kelembagaan HAM
Dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM telah dibentuk lembaga – lembaga
resmi oleh pemerintah seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan, Peradilan HAM dan lembaga – lembaga yang dibentuk oleh
masyarakat terutama dalam bentuk LSM pro-demokrasi dan HAM. Uraian masing –
masing sebagai berikut.
a. Komnas HAM
Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Keppres Nomor 50
Tahun 1993. Pembentukan komisi ini merupakan jawaban terhadap tuntutan
masyarakat maupun tekanan dunia internasional tentang perlunya penegakan hak
asasi manusia di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya UURI Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, yang didalamnya mengatur tentang Komnas HAM ( Bab
VIII, pasal 75 s/d. 99) maka Komnas HAM yang terbentuk dengan Kepres tersebut
harus menyesuaikan dengan UURI Nomor 39 Tahun 1999. Komnas HAM bertujuan:
1)
membantu pengembangan
kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia.
2) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi
dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, Komnas HAM melaksanakan fungsi sebagai
berikut :
1) Fungsi pengkajian dan
penelitian.
Untuk melaksanakan fungsi ini, Komnas HAM berwenang antara lain:
a)
melakukan pengkajian dan
penelitian berbagai instrumen internasional dengan tujuan memberikan saran -
saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi.
b) melakukan pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan
untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan dan pencabutan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
2) Fungsi penyuluhan.
Dalam rangka pelaksanaan fungsi ini, Komnas HAM berwenang:
a)
menyebarluaskan wawasan
mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia.
b)
meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non
formal serta berbagai kalangan lainnya.
c)
kerjasama dengan
organisasi, lembaga atau pihak lain baik tingkat nasional, regional, maupun
internasional dalam bidang hak asasi manusia.
3) Fungsi pemantauan.
Fungsi ini mencakup kewenangan antara lain:
a)
pengamatan pelaksanaan
hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut.
b)
penyelidikan dan
pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang patut diduga
terdapat pelanggaran hak asasi manusia.
c)
pemanggilan kepada pihak
pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai atau didengar
keterangannya.
d)
pemanggilan saksi untuk
dimintai dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta
menyerahkan bukti yang diperlukan.
e)
peninjauan di tempat
kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
f)
pemanggilan terhadap
pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan
dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua
Pengadilan.
g)
pemeriksaan setempat
terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat lainnya yang diduduki atau
dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
h) pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap
perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara
tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara
pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib
diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
4) Fungsi mediasi.
Dalam melaksanakan fungsi mediasi Komnas HAM berwenang untuk melakukan :
a)
perdamaian kedua belah
pihak.
b)
penyelesaian perkara
melalui cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
c)
pemberian saran kepada
para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.
d)
penyampaian rekomendasi
atas sesuatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk
ditindaklanjuti penyelesaiannya.
e) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia
kepada DPR RI untuk ditindaklanjuti.
Bagi setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak
asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau
tertulis pada Komnas HAM. Pengaduan hanya akan dilayani apabila disertai dengan
identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang
materi yang diadukan.
b. Pengadilan HAM
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
peradilan umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM
merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputi
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (UURI Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM).
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompk bangsa, ras,
kelompok, etnis, dan agama. Cara yang dilakukan dalam kejahatan genosida,
misalnya ; membunuh, tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental,
menciptakan kondisi yang berakibat kemusnahan fisik, memaksa tindakan yang
bertujuan mencegah kelahiran, memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok
tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil. Kejahatan terhadap kemanusiaan misalnya:
1)
pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, penyiksaan;
2)
pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa;
3)
perampasan kemerdekaan
atau perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar
ketentuan pokok hukum internasional;
4)
tindakan asusila;
5)
penganiayaan terhadap
suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
6)
penghilangan orang
secara paksa (penangkapan, penahanan, atau penculikan disertai penolakan
pengakuan melakukan tindakan tersebut dan pemberian informasi tentang nasib dan
keberadaan korban dengan maksud melepaskan dari perlindungan hukum dalam waktu
yang panjang);
7) kejahatan apartheid (penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok ras atas
kelompok ras atau kelompok lain dan dilakukan dengan maskud untuk mempertahan
peraturan pemerintah yang sedang berkuasa atau rezim).
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial
wilayah negara RI oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Disamping itu juga dikenal
Pengadilan HAM Ad Hoc, yang diberi kewenangan untuk mengadili pelanggaran HAM
berat yang terjadi sebelum di undangkannya UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM. Oleh karena itu pelanggaran HAM berat tidak mengenal kadaluwarsa. Dengan
kata lain adanya Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan pemberlakuan asas retroactive
(berlaku surut) terhadap pelanggaran HAM berat.
c. Komisi Nasional
Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Komisi National Perlindungan Anak (KNPA) ini lahir berawal dari gerakan
nasional perlindungan anak yang sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1997.
Kemudian pada era reformasi, tanggung jawab untuk memberikan perlindungan anak diserahkan
kepada masyarakat.
Tugas KNPA melakukan perlindungan anak dari perlakuan, misalnya:
diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun asusila, penelantaraan,
kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah yang
lain. KNPA juga yang mendorong lahirnya UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
Disamping KNPA juga dikenal KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). KPAI
dibentuk berdasarkan amanat pasal 76 UU RI Nomor 23 Tahun 2002. Komisi Perlindungan
Anak Indonesia bertugas :
a.
melakukan sosialisasi
seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlin-dungan anak
b.
mengumpulkan data dan
informasi, menerima penga-duan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
c. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam
rangka perlindungan anak.
Misalnya untuk tugas memberikan masukan kepada Presiden/pemerintah KPAI
meminta pemerintah segera membuat undang – undang larangan merokok bagi anak
atau setidak-tidaknya memasukan pasal larangan merokok bagi anak dalam UU
Kesehatan (yang sedang dalam proses amandemen) dan atau UU Kesejahteraan Sosial
(yang sedang dalam proses pembuatan). KPAI sangat prihatin karena jumlah anak
yang merokok cenderung semakin meningkat. KPAI menunjukan data perkembangan
anak yang merokok dari tahun 2001–2004 sebagai berikut:
1)
Jumlah perokok pemula
usia 5-9 tahun meningkat 400% (dari 0,89% menjadi 1,8 %);
2)
Perokok usia 10-14 tahun
naik 21 % (dari 9,5 % menjadi 11,5 %);
3) Perokok usia 15-19 tahun naik menjadi 63,9% ;
KPAI juga mencatat konsumsi rokok tahun 2006 mencapai 230 milyar batang
padahal tahun 1970 baru 33 milyar, akibatnya 43 juta anak terancam penyakit
mematikan (Wawancara Ketua KPAI dengan RCTI tanggal 15 Februari 2008).
d. Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan
Keppres Nomor 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan Komisi Nasional
ini adalah sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional ini bersifat independen dan
bertujuan:
a. menyebarluaskan pemahaman tentang bentuk kekerasan terhadap perempuan.
b. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan
terhadap perempuan.
c. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan hak
asasi perempuan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, Komisi Nasional ini memiliki
kegiatan sebagai berikut:
1)
penyebarluasan
pemahaman, pencegahan, penanggulangan, penghapusan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan.
2)
pengkajian dan
penelitian terhadap berbagai instrumen PBB mengenai perlindungan hak asasi
manusia terhadap perempuan.
3)
pemantauan dan
penelitian segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan memberikan pendapat,
saran dan pertimbangan kepada pemerintah.
4)
penyebarluasan hasil
pemantauan dan penelitian atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan kepada
masyarakat.
5) pelaksanaan kerjasama regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan kekerasan terhadap perempuan.
e. Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk berdasarkan UURI Nomor 27 Tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Keberadan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) untuk :
1)
Memberikan alternatif
penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar Pengadilan HAM ketika penyelesaian pelanggaran
HAM berat lewat pengadilan HAM dan pengadilan HAM Ad Hoc mengalami kebuntuan;
2) Sarana mediasi antara pelaku dengan korban pelanggaran HAM berat untuk
menyelesaikan di luar pengadilan HAM.
Dengan demikian diharapkan masalah pelanggaran HAM berat dapat
diselesaikan, sebab kalau tidak dapat diselesaikan maka akan menjadi ganjalan
bagi upaya menciptakan rasa keadilan dan kebenaran dalam masyarakat. Apabila
rasa keadilan dan keinginan masyarakat untuk mengungkap kebenaran dapat
diwujudkan, maka akan dapat diwujudkan rekonsiliasi (perdamaian/perukunan
kembali). Rekonsiliasi ini penting agar kehidupan berbangsa dan bernegara dapat
dihindarkan dari konflik dan dendam sejarah yang berkepanjangan antar sesama
anak bangsa.
Perdamaian sesama anak bangsa merupakan modal utama untuk membangun bangsa
dan negara ini ke arah kemajuan dalam segala bidang.
f. LSM Pro-demokrasi dan
HAM
Di samping lembaga penegakan hak asasi manusia yang dibentuk oleh
pemerintah, masyarakat juga mendirikan berbagai lembaga HAM. Lembaga HAM
bentukan masyarakat terutama dalam bentuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau
NGO (Non Governmental Organization) yang programnya berfokus pada upaya
pengembangan kehidupan yang demokratis (demokratisasi) dan pengembangan HAM.
LSM ini sering disebut sebagai LSM Prodemokrasi dan HAM. Yang termasuk LSM ini
antara lain YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Kontras (Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Elsam (Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat), PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Indonesia).
LSM yang menangani berbagai aspek HAM, sesuai dengan minat dan kemampuannya
sendiri pada umumnya terbentuk sebelum didirikannya Komnas HAM.
Dalam pelaksanaan perlindungan dan penegakkan HAM, LSM tampak merupakan
mitra kerja Komnas HAM. Misalnya, LSM mendampingi para korban pelanggaran HAM
ke Komnas HAM.
Di berbagai daerah-pun kini telah berkembang pesat LSM dengan minat pada
aspek HAM dan demokrasi maupun aspek kehidupan yang lain. Misalnya di
Yogyakarta terdapat kurang lebih 22 LSM. LSM di daerah Yogyakarta ada yang
merupakan cabang dari LSM Pusat (Nasional) juga ada yang berdiri sendiri.
C. KASUS PELANGGARAN DAN
UPAYA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
1. Penggolongan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia
(UURI Nomor 39 Tahun 1999). Kapan dinyatakan adanya pelanggaran HAM ? Hampir
dapat dipastikan dalam kehidupan seharai–hari dapat ditemukan pelanggaran hak
asasi manusia baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain.
Pelanggaran itu baik dilakukan oleh negara/pemerintah maupun oleh
masyarakat. Richard Falk, salah seorang pemerhati HAM mengembangkan suatu standar
guna mengukur derajat keseriusan pelanggaran hak–hak asasi manusia. Hasilnya
adalah disusunnya kategori–kategori pelanggaran hak–hak asasi manusia yang
dianggap kejam, yaitu :
a.
Pembunuhan besar–besaran
(genocide).
b.
Rasialisme resmi.
c.
Terorisme resmi berskala
besar.
d.
Pemerintahan totaliter.
e.
Penolakan secara sadar
untuk memenuhi kebutuhan–kebutuhan dasar manusia.
f.
Perusakan kualitas
lingkungan.
g.
Kejahatan–kejahatan
perang.
Akhir–akhir ini di dunia Internasional maupun di Indonesia, dihadapkan
banyak pelanggaran hak asasi manusia dalam wujud teror. Leiden & Schmit,
mengartikan teror sebagai tindakan berasal dari suatu kekecewaan atau
keputusasaan, biasanya disertai dengan ancaman–ancaman tak berkemanusiaan dan
tak mengenal belas kasihan terhadap kehidupan dan barang–barang dilakukan dengan
cara-cara melanggar hukum. Teror dapat dalam bentuk pembunuhan, penculikan,
sabotase, subversiv, penyebaran desas – desus, pelanggaran peraturan hukum, main
hakim sendiri, pembajakan dan penyanderaan. Teror dapat dilakukan oleh
pemerintah mapun oleh masyarakat (oposan).
Teror sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang kejam (berat),
karena menimbulkan ketakutan sehingga rasa aman sebagai hak setiap orang tidak lagi
dapat dirasakan. Dalam kondisi ketakutan maka seseorang/masyarakat sulit untuk
melakukan hak atau kebebasan yang lain, sehingga akan menimbulkan kesulitan
dalam upaya mengembangkan kehidupan yang lebih maju dan bermartabat.
Penggolongan pelanggaran HAM di atas merupakan contoh pelanggaran HAM yang
berat dikemukakan Ricahard Falk. Dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999 yang
dikategorikan pelanggaran HAM yang berat adalah :
a.
pembunuhan masal
(genocide);
b.
pembunuhan sewenang –
wenang atau diluar putusan pengadilan;
c.
penyiksaan;
d.
penghilangan orang
secara paksa;
e.
perbudakan atau
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.
Di samping pelanggaran HAM yang berat juga dikenal pelanggaran HAM biasa.
Pelanggaran HAM biasa antara lain: pemukulan, penganiayaan, pencemaran nama
baik, menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya, penyiksaan,
menghilangkan nyawa orang lain.
2. Berbagai Contoh
Pelanggaran HAM
Banyak terjadi pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan
pemerintah, aparat keamanan maupun oleh masyarakat. Hal ini dapat ditunjukan
adanya korban akibat bergai kerusuhan yang terjadi di tanah air. Misalnya,
korban hilang dalam berbagai kerusuhan di Jakarta, Aceh, Ambon dan Papua
diperkirakan ada 1148 orang hilang dalam kurun waktu 1965 – Januari 2002
(Kompas 1 Juni 2002).
Kita juga dapat dengan mudah menemukan pelanggaran HAM di sekitar kita yang
menimpa anak - anak. Misalnya, dalam kehidupan sehari–hari kita menyaksikan
banyak anak (dibawah umur 18 tahun) dipaksa harus bekerja mencari uang, untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya maupun untuk membantu keluarganya atau pihak lain.
Ada yang menjadi pengamen di jalanan, menjadi buruh, bahkan dieksploitasi untuk
pekerjaan-pekerjaan yang tidak patut. Mereka telah kehilangan hak anak berupa
perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara, perlindungan dari
eksploitasi ekonomi, dan pekerjaan.
Begitu pula kita juga dapat menemukan kasus sejumlah anak yang melanggar
hukum (berkonflik dengan hukum). Misalnya data Lembaga Advokasi Anak (LAdA)
Lampung menyatakan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum selama Januari –
Maret 2008 mencapai 83 orang. Pelanggaran hukum yang dilakukan anak–anak adalah
pencurian, penganiayaan, penggunaan narkoba, pemerkosaan, perampasan,
penodongan, pembunuhan, perjudian, perampokan, penjambretan, curanmor, dan
perkelahaian (“Anak – anak Berkonflik dengan Hukum”, Kompas, 7 April 2008).
Dalam kehidupan sehari–hari kasus pelanggaran HAM oleh seseorang/masyarakat
terutama pada perbuatan main hakim sendiri, seperti pertikaian antar kelompok
(konflik sosial), pengeroyokan, pembakaran sampai tewas terhadap orang yang
dituduh atau ketangkap basah melakukan pencurian. Kebiasaan pengeroyokan
sebagai bentuk main hakim sendiri dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik
juga tampak sangat kuat di kalangan para pelajar.
Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, karena mencerminkan suatu kehidupan
yang tidak beradab yang semestinya dalam menyelesaikan persoalan (konflik)
dilakukan dengan cara–cara yang bermartabat seperti melakukan perdamaian,
mengacu pada aturan atau norma yang berlaku, melalui perantara tokoh–tokoh
masyarakat/adat, dan lembaga–lembaga masyarakat yang ada.
Berikut ini dipaparkan beberapa contoh pelanggaran HAM yang menjadi sorotan
nasional bahkan internasional. Namun contoh-contoh berikut harus kalian cermati
mana yang tergolong pelanggaran HAM berat dan mana yang tergolong pelanggaran
HAM biasa.
a. Kasus Marsinah
Kasus ini berawal dari unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT.CPS
pada tanggal 3-4 Mei 1993. Aksi ini berbuntut dengan di PHK-nya 13 buruh.
Marsinah menuntut dicabutnya PHK yang menimpa kawan-kawannya Pada 5 Mei 1993
Marsinah ‘menghilang’, dan akhirnya pada 9 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas
dengan kondisi yang mengenaskan di hutan Wilangan Nganjuk.
b. Kasus Trisakti dan
Semanggi
Kasus Trisakti dan Semanggi, terkait dengan gerakan reformasi. Arah gerakan
reformasi adalah untuk melakukan perubahan yang lebih baik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Gerakan reformasi dipicu oleh krisis ekonomi tahun
1997. Krisis ekonomi terjadi berkepanjangan karena fondasi ekonomi yang lemah
dan pengelolaan pemerintahan yang tidak bersih dari KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme).
Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa menuntut perubahan dari
pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis,
mensejahterakan rakyat dan bebas dari KKN.
Demonstrasi merupakan senjata mahasiswa untuk menekan tuntutan perubahan
ketika dialog mengalami jalan buntuk atau tidak efektif. Ketika demonstrasi
inilah berbagai hal yang tidak dinginkan dapat terjadi. Karena sebagai gerakan
massa tidak mudah melakukan kontrol. Bentrok fisik dengan aparat kemanan,
pengrusakan, penembakan dengan peluru karet maupun tajam inilah yang mewarai
kasus Trisakti dan Semanggi. Kasus Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 yang
menewaskan 4 (empat) mahasiswa Universitas Trisakti yang terkena peluru tajam.
Kasus Trisakti sudah ada pengadilan militer. Tragedi Semanggi I terjadi 13
November 1998 yang menewaskan setidaknya 5 (lima) mahasiswa, sedangkan tragedi
Semanggi II pada 24 September 1999, menewaskan 5 (lima) orang.
Dengan jatuhnya korban pada kasus Trisakti, emosi masyarakat meledak.
Selama dua hari berikutnya 13 – 14 Mei terjadilah kerusuhan dengan membumi
hanguskan sebagaian Ibu Kota Jakarta. Kemudian berkembang meluas menjadi
penjarahan dan aksi SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Akibat
kerusuhan tersebut, Komnas HAM mencatat :
1)
40 pusat perbelanjaan
terbakar;
2)
2.479 toko hancur;
3)
1.604 toko dijarah;
4)
1.119 mobil hangus dan
ringsek;
5)
1.026 rumah penduduk
luluh lantak;
6)
383 kantor rusak berat;
dan
7) yang lebih mengenaskan 1.188 orang meninggal dunia. Mereka kebanyakan mati
di pusat – pusat perbelanjaan ketika sedang membalas dendam atas kemiskinan
yang selama ini menindih (GATRA, 9 Januari 1999).
Dengan korban yang sangat besar dan mengenaskan di atas, itulah harga yang
harus dibayar bangsa kita ketika menginginkan perubahan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih baik. Seharusnya hal itu masih dapat dihindari apabila
semua anak bangsa ini berpegang teguh pada nilai – nilai luhur Pancasila
sebagai acuan dalam memecahkan berbagai persoalan dan mengelola negara tercinta
ini. Peristiwa Mei tahun 1998 dicatat disatu sisi sebagai Tahun Reformasi dan
pada sisi lain sebagai Tragedi Nasional.
c. Kasus Bom Bali
Peristiwa peledakan bom oleh kelompok teroris di Legian Kuta Bali 12
November 2002, yang memakan korban meninggal dunia 202 orang dan ratusan yang
luka-luka, semakin menambah kepedihan kita. Apa lagi yang menjadi korban tidak
hanya dari Indonesia, bahkan kebanyakan dari turis manca negara yang datang
sebagai tamu di negara kita yang mestinya harus dihormati dan dijamin
keamanannya.
3. Faktor Penyebab
Terjadinya Pelanggaran HAM
Mengapa pelanggaran hak asasi manusia sering terjadi di Indonesia, meskipun
seperti telah dikemukakan di atas telah dijamin secara konstitusional dan telah
dibentuknya lembaga penegakan hak asasi manusia. Apa bila dicermati secara
seksama ternyata faktor penyebabnya kompleks. Faktor – faktor penyebabnya
antara lain:
a.
masih belum adanya
kesepahaman pada tataran konsep hak asasi manusia antara paham yang memandang
HAM bersifat universal (universalisme) dan paham yang memandang setiap bangsa
memiliki paham HAM tersendiri berbeda dengan bangsa yang lain terutama dalam
pelaksanaannya (partikularisme);
b.
adanya pandangan HAM
bersifat individulistik yang akan mengancam kepentingan umum (dikhotomi antara
individualisme dan kolektivisme);
c.
kurang berfungsinya
lembaga – lembaga penegak hukum (polisi, jaksa dan pengadilan); dan
d.
pemahaman belum merata
tentang HAM baik dikalangan sipil maupun militer.
Di samping faktor-faktor penyebab pelanggaran hak asasi manusia tersebut di
atas, menurut Effendy salah seorang pakar hukum, ada faktor lain yang esensial
yaitu “kurang dan tipisnya rasa tanggungjawab”. Kurang dan tipisnya rasa
tanggungjawab ini melanda dalam berbagai lapisan masyarakat, nasional maupun
internasional untuk mengikuti “hati sendiri”, enak sendiri, malah juga kaya
sendiri, dan lain-lain. Akibatnya orang dengan begitu mudah menyalahgunakan
kekuasaannya, meremehkan tugas, dan tidak mau memperhatikan hak orang lain.
4. Menanggapi
Kasus-kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Kasus–kasus pelanggaran HAM di Indonesia sebagaimana telah dikemukakan di
depan membawa berbagai akibat. Akibat itu, misalnya menjadikan masyarakat dan
bangsa Indonesia sangat menderita dan mengancam integrasi nasional.
Bagaimana kita menanggapi kasus kasus pelanggaran HAM di Indonesia? Sebagai
warga negara yang baik harus ikut serta secara aktif (berpartisipasi) dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi bangsa dan negaranya,
termasuk masalah pelanggaran HAM. Untuk itu tanggapan yang dapat
dikembangkan misalnya : bersikap tegas tidak membenarkan setiap pelanggaran
HAM. Alasannya:
a. dilihat dari segi moral merupakan perbuatan tidak baik yakni bertentangan
dengan nilai–nilai kemanusiaan;
b. di lihat dari segi hukum, bertentangan dengan prinsip hukum yang mewajibkan
bagi siapapun untuk menghormati dan mematuhi instrumen HAM;
c. dilihat dari segi politik membelenggu kemerdekaan bagi setiap orang untuk
melakukan kritik dan kontrol terhadap pemerintahannya. Akibat dari kendala ini,
maka pemerintahan yang demokratis sulit untuk diwujudkan.
Di samping tanggapan kita terhadap pelanggaran HAM berupa sikap tersebut di
atas, juga bisa berupa perilaku aktif. Perilaku aktif yakni berupa ikut
menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di Indonesia, sesuai dengan kemampuan dan
prosedur yang dibenarkan.
Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi kita (dalam Pembukaan UUD 1945)
bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan adalah dalam rangka mengembangkan
kehidupan yang bebas. Juga sesuai dengan “Deklarasi Pembela HAM” yang
dideklarasikan oleh Majelis Umum PBB pada tangal 9 Desember 1998. Isi deklarasi
itu antara lain menyatakan “setiap orang mempunyai hak secara sendiri – sendiri
maupun bersama– sama untuk ikut serta dalam kegiatan menentang pelanggaran
HAM”.
Dengan kata lain tanggapan terhadap pelanggaran HAM di Indonesia dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk, yakni :
a.
Mengutuk, misalnya dalam
bentuk tulisan yang dipublikasikan melalui majalah sekolah, surat kabar,
dikirim ke lembaga pemerintah atau pihak– pihak yang terkait dengan pelanggaran
HAM. Bisa juga kecaman/kutukan itu dalam bentuk poster, dan demonstrasi secara
tertib.
b.
Mendukung upaya lembaga
yang berwenang untuk menindak secara tegas pelaku pelanggaran HAM. Misalnya
mendukung digelarnya peradilan HAM, mendukung upaya penyelesaian melalui
lembaga peradilan HAM internasional, apabila peradilan HAM nasional mengalami
jalan buntu.
c.
Mendukung dan
berpartisipasi dalam setiap upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat
untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Bantuan kemanusiaan itu bisa berwujud
makanan, pakaian, obat-obatan atau tenaga medis. Partisipasi juga bisa berwujud
usaha menggalang pengumpulan dan penyaluran berbagai bantuan kemanusiaan.
d.
Mendukung upaya
terwujudnya jaminan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi bagi para korban
pelanggaran HAM. Restitusi merupakan ganti rugi yang dibebankan pada para
pelaku baik untuk korban atau keluarganya. Jika restitusi dianggap tidak
mencukupi, maka harus diberikan kompensasi, yaitu kewajiban.
6. Contoh Kasus
Pelanggaran HAM dan Upaya Penegakannya
Kasus pelanggaran HAM dapat terjadi di lingkungan apa saja, termasuk di
lingkungan sekolah. Sebagai tindakan pencegahan maka di lingkungan sekolah
antara lain perlu dikembangkan sikap dan perilaku jujur, saling menghormati,
persaudaraan dan menghindarkan dari berbagai kebiasaan melakukan tindakan
kekerasan atau perbuatan tercela yang lain. Misalnya, dengan mengembangkan
nilai-nilai budaya lokal yang sangat mulia. Sebagai contoh masyarakat Sulawesi
Selatan menganut budaya “Siriq”. Budaya ini mengedepankan sikap sipak atau atau
saling menghormati serta malu berbuat tidak wajar di depan umum.
Kalian baca kasus berikut
Contoh lain tentang pelanggaran HAM dan bagaimana upaya penegakannya,
kalian dapat melihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kasus Pelanggaran dan Penyelesaiannya :
No. Nama. Kasus. Tahun. Jumlah. Korban. Konteks. Penyelesaian.
1.
Peristiwa Tanjung Priok,
1984, 74, Penekanan (represi) terhadap massa yang berdemonstrasi menolak asas
tunggal Pancasila di Jakarta, Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta, tahun 2003 –
2004.
2.
Penculikan Aktivis 1998,
1998, 23, Penculikan dan penghilangan paksa bagi aktivis prodemokrasi oleh TNI,
Pengadilan militer bagi pelaku (Tim Mawar) dan Dewan Kehormatan Perwira bagi
beberapa jenderal.
3.
Darurat Militer I dan II,
2003- 2004, 1326, Kegagalan perundingan damai antara RI dan GAM direspon dengan
kebijakan darurat militer, Sejumlah anggota TNI dihukum, dan statusnya
diturunkan menjadi darurat sipil.
Upaya penegakan terhadap kasus pelanggaran HAM tergantung
pada apakah pelanggaran HAM itu masuk kategori berat atau bukan. Apabila berat,
maka penyelesaiannya melalui Peradilan HAM, namun apabila pelanggaran HAM bukan
berat melalui Peradilan Umum.
Kita sebagai manusia dan sekaligus sebagai warga negara yang baik, bila
melihat atau mendengar terjadinya pelanggaran HAM sudah seharusnya memiliki
kepedulian. Meskipun pelanggaran itu tidak mengenai diri kalian atau keluarga
kalian. Kita sebagai sesama anak bangsa harus peduli terhadap korban
pelanggaran HAM atas sesamanya. Baik korban itu anak, wanita, laki–laki,
berbeda agama, suku dan daerah semua itu saudara kita. Saudara kita di Merauke –
Papua menyatakan “IZAKOD BEKAI IZAKOD KAI” (satu hati satu tujuan).
Kepedulian kita terhadap penegakan HAM merupakan amanah dari nilai
Pancasila yakni kemanusiaan yang adil dan beradab yang sama–sama kita junjung
tinggi, karena akan dapat menghantarkan sebagai bangsa yang beradab. Oleh
karena itu sikap tidak peduli harus dihindari.
D. MENGHARGAI UPAYA
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
Upaya perlindungan HAM penekanannya pada berbagai tindakan pencegahan
terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan HAM terutama melalui
pembentukan instrumen hukum dan kelembagaan HAM. Juga dapat melalui berbagai
faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM yang dilakukan individu
maupun masyarakat dan negara.
Negara-lah yang memiliki tugas utama untuk melindungi warga negaranya
termasuk hak- hak asasinya. Sebagaimana hal ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD
1945, yang pada intinya tujuan NKRI adalah :
(1)
melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
(2)
memajukan kesejahteraan
umum;
(3)
mencerdaskan kehidupan
bangsa;
(4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Kapan jaminan perlindungan HAM dinyatakan telah di laksanakan? Meskipun di
Indonesia telah ada jaminan secara konstitusional maupun telah dibentuk lembaga
untuk penegakanya, tetapi belum menjamin bahwa hak asasi manusia dilaksanakan
dalam kenyataan kehidupan sehari–hari atau dalam pelaksanaan pembangunan.
Lukman Soetrisno seorang sosiolog, mengajukan indikator bahwa suatu pembangunan
telah melaksanakan hak – hak asasi
manusia apabila telah menunjukkan adanya indikator-indikator, sebagai berikut
:
1.
dalam bidang politik
berupa kemauan pemerintah dan masyarakat untuk mengakui pluralisme pendapat dan
kepentingan dalam masyarakat;
2.
dalam bidang sosial
berupa perlakuan yang sama oleh hukum antara wong cilik dan priyayi dan
toleransi dalam masyarakat terhadap perbedaan atau latar belakang agama dan ras
warga negara Indonesia, dan
3.
dalam bidang ekonomi
dalam bentuk tidak adanya monopoli dalam sistem ekonomi yang berlaku.
Ketiga indikator tersebut jika dipakai untuk melihat pelaksanaan
pembangunan di Indonesia dewasa ini di bidang politik, sosial dan ekonomi masih
jauh dari yang diharapkan. Kehidupan politik masih cenderung didominasi konfl
ik antar elit politik sering berimbas pada konflik dalam masyarakat (konfl ik
horizontal) dan elit politik lebih memperhatikan kepentingan diri/kelompoknya,
sementara kepentingan masyarakat sebagai konstiuennya diabaikan.
Ingat berkecamuknya konfl ik di Ambon, Poso, konfl ik pro-kontra pemekaran
provinsi di Papua, dan konflik antarsimpatisan partai politik (akhir Oktober
2003) di Bali.
Di bidang hukum masih terlihat lemahnya penegakan hukum, banyak pejabat
yang melakukan pelanggaran hukum sulit dijamah oleh hukum, sementara ketika
pelanggaran itu dilakukan oleh wong cilik hukum tampak begitu kuat
cengkeramannya. Dalam masyarakat juga masih tampak kurang adanya toleransi
terhadap perbedaan agama, ras konflik. Berbagai konflik dalam masyarakat paling
tidak dipermukaan masih sering terdapat nuansa SARA. Sedangkan di bidang
ekonomi masih tampak dikuasai oleh segelintir orang (konglomerat) yang
menunjukkan belum adanya kesempatan yang sama untuk berusaha.
Kondisi tersebut merupakan salah satu faktor mengapa Indonesia begitu sulit
untuk keluar dari krisis politik, ekonomi dan sosial. Ini berarti harus diakui
bahwa dalam pelaksanaan hak asasi manusia masih banyak terjadi pelanggaran
dalam berbagai bidang kehidupan. Pelanggaran baik dilakukan oleh penguasa
maupun masyarakat, namun ada kecenderungan pihak penguasa lebih dominan, karena
sebagai pemegang kekuasaan dapat secara leluasa untuk memenuhi kepentingan yang
seringkali dilakukan dengan cara–cara manipulasi sehingga mengorbankan hak–hak
pihak lain. Seperti kebijakan pemerintah mengenai impor beras, dirasakan sangat
merugikan para petani.
Dalam bentuk kegiatan seperti apa menghargai upaya perlindungan HAM?
Menghargai upaya perlindungan HAM dapat diwujudkan dalam berbagai kegiatan untuk
mencegah terjadinya pelanggaran HAM. Berbagai kegiatan yang dapat dimasukan
dalam upaya perlindungan HAM antara lain:
1. Kegiatan belajar bersama, berdiskusi untuk memahami pengertian HAM;
2. Mempelajari peraturan perundang–undangan mengenai HAM maupun peraturan
hukum pada umumnya, karena peraturan hukum yang umum pada dasarnya juga telah
memuat jaminan perlindungan HAM;
3. Mempelajari tentang peran lembaga–lembaga perlindungan HAM, seperti Komnas
HAM, KomisiNasional Perlindungan Anak (KNPA), LSM, dan seterusnya;
4. Memasyarakatkan tentang pentingnya memahami dan melaksanakan HAM, agar kehidupan bersama
menjadi tertib, damai dan sejahtera kepada lingkungan masing–masing;
5. Menghormati hak orang lain, baik dalam keluarga, kelas, sekolah, pergaulan,
maupun masyrakat;
6. Bertindak dengan mematuhi peraturan yang berlaku di keluarga, kelas,
sekolah, OSIS, masyarakat, dan kehidupan bernegara;
7. Berbagai kegiatan untuk mendorong agar negara mencegah berbagai tindakan
anti pluralisme (kemajemukan etnis, budaya, daerah, dan agama);
8. Berbagai kegiatan untuk mendorong aparat penegak hukum bertindak adil;
9. Berbagai kegiatan yang mendorong agar negara mencegah kegiatan yang dapat
menimbulkan kesengsaraan rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti,
sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.
E. MENGHARGAI UPAYA
PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
Bagaimana upaya penegakan HAM? Upaya penegakan HAM dapat dilakukan melalui
jalur hukum dan politik. Maksudnya terhadap berbagai pelanggaran HAM maka upaya
menindak para pelaku pelanggaran diselesaikan melalui Pengadilan HAM bagi
pelanggaran HAM berat dan melalui KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Upaya penegakan HAM melalui jalur Pengadilan HAM, mengikuti
ketentuan-ketentuan antara lain, sebagai berikut:
1.
Kewenangan memeriksan
dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut di atas
oleh Pengadilan HAM tidak berlaku bagi pelaku yang berumur di bawah 18 tahun
pada saat kejahatan dilakukan.
2.
Terhadap pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkan UURI No.26 Tahun 2000,
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad
hoc diusulkan oleh DPR berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang dibatasi pada tempat dan waktu perbuatan tertentu
(locus dan tempos delicti ) yang terjadi sebelum diundangkannya UURI No. 26
Tahun 2000.
3.
Agar pelaksanaan
Pengadilan HAM bersifat jujur, maka pemeriksaan perkaranya dilakukan majelis
hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang. Lima orang tersebut, terdiri atas
2 orang hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc (diangkat
di luar hakim karir).
Sedang penegakan HAM melalui KKR penyelesaian pelanggaran HAM dengan cara
para pelaku mengungkapkan
pengakuan atas kebenaran bahwa ia telah melakukan pelanggaran HAM terhadap
korban atau keluarganya, kemudian dilakukan perdamaian. Jadi KKR berfungsi sebagai
mediator antara pelaku pelanggaran dan korban atau keluarganya untuk melakukan
penyelesaian lewat perdamaian bukan lewat jalur Pengadilan HAM.
Dalam upaya penegakan HAM peran korban dan saksi sangat menentukan, oleh
karena itu mereka perlu memperoleh jaminan keamanan. Bagaimanakah jaminan
terhadap para korban dan saksi yang berupaya menegakkan HAM? Dalam rangka
memperoleh kebenaran faktual, maka para korban dan saksi dijamin perlindungan
fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak
manapun.
Kemudian untuk memenuhi rasa keadilan maka bagi setiap korban pelanggaran
hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh ganti rugi oleh negara
(kompensasi), ganti rugi oleh pelaku atau pihak ketiga (restitusi), pemulihan
pada kedudukan semula, seperti nama baik, jabatan, kehormatan atau hak-hak lain
(rehabilitasi).
Kegiatan seperti apa yang dapat digolongkan sebagai menghargai upaya
penegakan HAM? Secara sederhana ukuran yang dapat dipakai untuk menentukan
kegiatan yang dapat digolongkan (dikategorikan) menghargai upaya penegakan HAM
adalah setiap sikap dan perilaku yang positif untuk mendukung upaya–upaya
menindak secara tegas pelaku pelanggaran HAM baik melalui jalur hukum maupun
melalui jalur politik, seperti KKR, pemberian rehabilitasi, restitusi, dan
kompensasi.
Beberapa contoh kegiatan yang dapat dimasukan menghargai upaya penegakan
HAM, antara lain :
1.
Membantu dengan menjadi
saksi dalam proses penegakan HAM;
2.
Mendukung para korban
untuk memperoleh restitusi maupun kompensasi serta rehabilitasi;
3.
Tidak mengganggu
jalannya persidangan HAM di Pengadilan HAM;
4.
Memberikan informasi
kepada aparat penegak hukum dan lembaga–lembaga HAM bila terjadi pelanggaran
HAM;
5.
Mendorong untuk dapat
menerima cara rekonsiliasi melalui KKR kalau lewat jalan Peradilan HAM
mengalami jalan buntu, demi menghapus dendam yang berkepanjangan yang dapat
menghambat kehidupan yang damai dan harmonis dalam bermasyarakat.
EVALUASI
I. Pilihlah salah satu
jawaban yang menurut kalian paling tepat. Berilah tanda melingkari pada jawaban
yang dipilih.
1.
Unsur – unsur terpenting
dalam pengertian hakekat HAM adalah ...
a.
merupakan karunia Tuhan
YME, dimiliki setiap manusia, tidak dapat diberikan kepada orang lain, dan
tidak boleh dihapus dengan alasan apapun.
b.
merupakan karunia Tuhan
YME, dimiliki setiap manusia, dapat diberikan kepada orang lain, dan boleh
dihapus dengan alasan untuk kepentingan umum.
c.
merupakan karunia Tuhan
YME, dimiliki setiap warga negara, dan boleh dihapus dengan alasan untuk
kepentingan negara.
d.
merupakan karunia Tuhan
YME, dimiliki setiap warga Negara yang telah berumur 18 tahun, dan boleh
dihapus dengan alasan untuk kepentingan pemerintah.
2.
Yang merupakan instrumen
hukum HAM nasional adalah ...
a.
Komnas HAM
b.
Pengadilan HAM
c.
UURI No. 39 Tahun 1999
d.
UURI No. 22 Tahun 1999
3.
Lahirnya Perundang –
undangan HAM nasional terutama di dorong untuk keperluan ...
a.
mencegah berkembangnya
individualisme
b.
memenuhi tuntutan
masyarakat internasional
c.
melindungi dari tindakan
kesewenang-kesewenangan yang dilakukan oleh penguasa maupun pihak lain
d.
mengembangkan hak – hak
warga negara agar sederajat dengan bangsa–bangsa lain di dunia
4. Dalam menjalankan fungsi mediasi Komnas HAM berperan ...
a.
melakukan penelitian
berbagai instrumen HAM
b.
menyebar wawasan
mengenai HAM kepada masyarakat
c.
menyelesaikan perkara
HAM melalui cara konsultasi, negoisasi, konsiliasi dan penilaian ahli
d.
mengamati pelaksanaan
HAM dan menyusun laporan hasil pengamatan tersebut
5.
Manakah yang termasuk
sikap positif terhadap upaya penegakan HAM . . .
a.
mendukung penyelesaian
pelanggaran HAM diserahkan sepenuhnya pada kesadaran masing–masing pelaku
pelanggaran
b.
mendukung pemberian
perlindungan terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM dari ancaman pihak
manapun
c.
tidak setuju terhadap
pelaksanaan peradilan HAM yang diperlakukan surut
d.
setuju demi penegakan
HAM bagi yang didakwa melanggar meskipun tidak terbukti bersalah tidak perlu
diberikan hak rehabilitasi
6. Hak untuk pemenuhan kebutuhan dasar, meningkatkan kualitas hidup,
memperoleh manfaat dari iptek, memperoleh informasi, melakukan pekerjaan sosial
merupakan contoh–contoh yang dijamin dalam ...
a.
hak untuk hidup;
b.
hak mengembangkan diri;
c.
hak atas rasa aman
d.
hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan
7.
Berikut merupakan hak
atas kesejahteran adalah ...
a.
perlindungan dari
ancaman ketakutan
b.
memilih dalam pemilihan
umum
c.
memperoleh pekerjaan
yang layak;
d.
perlindungan terhadap
penyiksaan,
8.
Hak perlindungan oleh
orang tua, keluarga, masyarakat dan negara, beribadah menurut agamanya,
berekspresi, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan, pelecehan asusila, perdagangan anak, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya, merupakan beberapa contoh ...
a.
hak anak;
b.
hak memperoleh keadilan;
c.
hak atas rasa aman;
d.
hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan
9.
Berikut ini merupakan
tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia kecuali:
a.
melakukan penyidikan
terhadap berbagai kasus pelanggaran hak anak.
b.
melakukan sosialisasi
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak;
c.
memberikan laporan,
saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan
anak;
d.
mengumpulkan data dan
informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi,
dan pengawasan terhadap pe-nyelenggaraan perlindungan anak.
10.
Sikap mengikuti “hati
sendiri”, enak sendiri, malah juga kaya sendiri, dan lain–lain, mengakibatkan
orang dengan begitu mudah menyalahgunakan kekuasaannya, meremehkan tugas, dan
tidak mau mem-perhatikan hak–hak orang lain, dapat menjadi penyebab terjadinya
pelanggaran HAM, karena ...
a.
mengedepankan hati
nurani
b.
kurang dan tipisnya rasa
tanggungjawab;
c.
menonjolkan
kolektivisme;
d.
kurang berfungsinya
lembaga–lembaga penegak hukum (polisi, jaksa dan pengadilan).
II. Jawablah pertanyaan
di bawah ini dengan singkat dan tepat !
1.
Jelaskan hakikat HAM?
2.
Jelaskan fungsi Komnas
HAM?
3.
Deskripsikan satu contoh
kasus pelanggaran dan upaya penegakan HAM?
4.
Jelaskan 3 sikap kalian
yang dapat untuk menghargai upaya perlindungan HAM?
5.
Jelaskan 3 sikap kalian
yang dapat untuk menghargai upaya penegakan HAM?
0 Response to "Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM)"
Post a Comment